Minggu, 25 November 2012

2012 South East Asia Tour

The Frankenstone’s Singapore – Malaysia tour 2012 (2 – 7 Maret 2012)




Dengan membawa 4 hardcase (gitar, bass, toolbox, dan snare), satu koper, satu travel bag dengan berat keseluruhan hampir 50 kg, kami bertiga dengan salah satunya adalah perempuan, merasa lebih tough dari band hardcore manapun. Perjalanan dimulai dari bandara Adisucipto, Yogyakarta. Pesawat landing pukul 07.30 pagi. Ini pertama kalinya kami bertiga naik pesawat, Gisa sangat excited, tapi Putro dan Jeje ketakutan setengah mati.
Tiba di Changi Airport pukul 11.30 waktu Singapore (perbedaan waktu satu jam lebih cepat daripada Yogyakarta). Kami sangat kebingungan karena bandara sangat besar dan ketakutan akan menghadapi imigrasi, takutnya kami ketahuan akan mengadakan show, menjual merch, dll sehingga disuruh bayar pajak dan berurusan ini itu. Untungnya urusan imigrasi berjalan dengan cepat, tidak ditanyain macem-macem, tak seseram yang kami bayangkan sebelumnya. Tetapi masalah datang lagi ketika Cher (orang yang akan menjamput dan menjadi pemandu kami di sana) tidak bisa menjemput di bandara sehingga kami harus naik kereta subway untuk bertemu dengannya di stasiun Lavender, sempat kesasar karena ada orang Indonesia sok tau yang sok mau memandu kami. Akhirnya kami sampai di Stasiun Lavender dan menunggu Cher disana,yang datang 2 jam kemudian, terburu-buru dari tempat kerjanya. Ketika mau keluar kami tidak bisa melewati portal. Ternyata kami kena denda masing-masing 2 dolar karena kami terlalu lama menunggu di stasiun. We paid fine in Singapore! Setelah semuanya beres, kami betiga saling berkata, SINGAPORE’S OUT THERE DUDE!!!
Perjalanan selanjutnya kami lakukan menggunakan bus. Setelah itu kami jalan kaki jauh sekali menuju hostel. Dalam perjalanan ini, koper pinjaman kami akhirnya jebol tangkainya gara-gara diseret-seret Putro mengejar pemandu kami yang jalan cepat ala Singapore. Akhirnya sampai juga di hostel ARK259 Lodge di Jalan Besar. Kami naroh barang-barang, makan siang (ditraktir Cher) chicken rice dan pork noodle soup yang enak banget di kedai masakan China, dan langsung pergi ke patung singa Merlion. Walaupun gerimis, kami tidak peduli karena kami cuma sehari di Singapore, jadi kesempatan jalan-jalan kami ya cuma saat itu…
Venue gigs hari itu tidak jauh dari tempat kami menginap, hanya sekitar 2 blok saja. Chapter Six adalah gigs pertama kami dan kami terlihat dan merasa sangat udik di kalangan anak band Singapore. Di negara maju seperti Singapore kita akan mendapatkan pemandangan anak street punk menenteng gitar Gibson SG dan membawa Ampli Marshal, membuat kami merasa rubbish, hahhaha…. Terlebih lagi penampilan kami sangat biasa-biasa saja, ga ada di antara kami yang seksi atau bahkan sekedar ngecat rambut. Sementara anak-anak punk Singapore itu ngedressnya maksimal booow… Sebelum gigs kami makan malam dulu. Sekarang mau coba kuliner India, jadi kami pesan nasi briyani karena sangat recommended di buku “500rb keliling Singapore” yang kami beli. Ternyata NGGAK ENAK!
Show kami berlangsung keren, semua penonton berdiri, kadang pogo kadang mengepalkan tangan ke udara, , yeah another successful punk rock show, and we want more! CD dan tshirt kami laku, dan kami senang sekali karena bisa buat menambah uang saku kami. Paginya kami check out dari hostel setelah makan pagi, Cher datang jam 12 siang untuk mengantar kami sampai ke terminal bus. Dari situ kami naik bus Singapore – Johor Bahru Express menuju ke Johor Baru (JB).  Perjalanan ini cukup berat karena tidak ada orang lokal yang menemani kami. Kami sempat kebingungan di Singapore custom, hampir salah naik bus, ditegur tentara Malaysia yang berkumis seram, sebelum akhirnya sampai juga ke terminal Larkin, Johor Bahru.
Di JB kami dijemput oleh Aji dan Coki. Kali ini perjalanan agak ringan, soalnya naik mobil hehehe….  Langsung menuju venue, Embrace Hall, sebuah lantai dua ruko yang disulap jadi studio jamming, lapak merch, dan lodging untuk band yang tour. Venue ini keren banget, dan kami bermain bersama orang-orang yang asik banget! Kami bahkan malah ketemu sama Plague of Happiness, sebuah band ska yang dulu pernah satu panggung dengan kami di Jogja. Merch kami di sini laku keras! Semua orang beli CD, kaos, dan pin kami. Bahkan mereka tanya berapa harga stiker kami. Kami bilang, stiker itu kami bagi gratis buat mereka yang beli CD, kaos, atau pin. Koper kami pun berkurang beratnya secara signifikan, sementara dompet kami menebal!

Saat show, kami ternyata bermain di depan crowd yang paling excited! Mereka memenuhi mosh pit sepanjang show, stage dive dan bernyanyi-nyanyi, baik laki-laki maupun perempuan. Dan ketika kami sudah kehabisan lagu di song-list, mereka masih minta lagi! Di situ, kami pun bertemu dengan Adzuan Idris, promotor kami di Malaysia. Dia membawa sekardus kaset Don’t be Sad Don’t be Gloom The Frankenstone is Ugly produksinya. Akhirnya kami punya kaset!
Di dalam venue itu ada “rumah” buat kami dan Fahmi, manajer dan promotor kami di JB. Rumah itu berupa ruangan yang disekat supaya terpisah dari venue, dindingnya dipenuhi berbagai poster punk rock show, lantainya berkarpet tebal, sofa, TV flat dan AC, plus berbagai koleksi zine, CD, tape, dan vinyl yang mengagumkan. Setelah makan malam, Fahmi memberi kami fee untuk show hari itu. Bayaran yang gak kami sangka-sangka. Ternyata kalau di Malaysia semua band, gak peduli band kecil atau gede, gak peduli gig kecil atau gede, semuanya diusahakan dibayar. Kalau di Indonesia mana bisa. NOFX aja gak kita bayar, apalagi cuma The Frankenstone!
Besoknya kami meninggalkan Embrace Hall menuju Larkin terminal lagi. Dari sini kami naik bus melewati perjalanan jauh menuju kota Tampin, di Negeri Sembilan. Di sini kami bermain di dalam pasarAnak-anak Tampin telah menyewa suatu los di lantai tiga pasar Tampin dan merubahnya menjadi studio jamming bernama Seventh Heaven. Sebelum manggung kami sempat cari makan di pasar dan belanja awul-awul “bundle”. Lumayan banget, Gisa dapet dress dan Jeje dapet dua potong celana. Awul-awulnya di sana bersih dan ga terlalu apek kayak di Indonesia. Plus banyak barang-barang branded di sana. Shownya lumayan keren, kami ketemu band keren, Skunkfix. Sayangnya ketika kami on stage, kami mengalami kendala teknis dengan ampli gitar sehingga lagu “We’re Friends” sempat berhenti dengan gak keren banget. Tapi afterall, another good show! Dari Tampin kami numpang mobil Skunkfix menuju rumah Adzuan di Kuala Lumpur (KL), dimana besok sorenya, kami naik mobil untuk perjalanan PUANJAAAAANG sekali ke Ipoh, Perak, sebuah kota kecil di sekitar ujung utara Malaysia.
Kami bertiga, plus Adzuan dan Amar yang mengantar kami, rasanya capeeek sekali karena perjalanan. Mau gimana lagi, kami berangkat dari KL jam 5 sore dan sampai di Ipoh, Perak, jam 11 malam. Kami sempet deg-degan, takutnya acaranya habis sebelum kami sampai. Tapi untungnya acaranya sukses! Gigs oke, merch laris, plus dapet temen-temen baru. Datang, langsung main, lalu jam 12 malam kami langsung pulang ke KL (“Hah, pusing balek?” tanya teman baru kami yang kenalan di Ipoh). Pukul tiga pagi, ketika muka kami udah pada bruwet semua, kami sempetin berhenti di sebuah food court untuk makan, dan sialnya Putro dan Jeje dapat makanan India lagi, hiyek… Gisa makan nasi goreng kecap yang lumayan aman rasanya. Kuncinya adalah jangan malu bertanya makanan apa itu, plus harganya berapa! Tapi yang penting shownya sukses, dan kami dapet beberapa teman lagi di Ipoh! Kami selamat sampai di rumah di KL pukul enam pagi.
Sorenya, ditemani Adzuan, kami naik kereta listrik dan mampir di record store yang bernama Ricecooker milik Matt Noor di daerah Masjid Jamek. Toko itu yang keren sekali, barang dagangannya termasuk kaset, CD, piringan hitam, kaos, zine dan buku bekas. Sementara kami melihat-lihat, ternyata Adzuan sudah mengatur agar teman kami Alak (Pusher, Carburetor Dung) menjemput naik mobil menuju Rumah Api.
Rumah Api ternyata keren sekali. Venue itu seperti one stop point untuk scene punk di sana. Letaknya tersembunyi di area kota tua Ampang, dengan bangunan ala ruko kolonial yang di-punk-kan dengan interior cat hitam, instalasi poster-poster gig, spanduk protes untuk pembebasan punk Aceh, artikel-artikel radikal, plus frase-frase pemberontakan yang disapukan di dinding. Tempat ini lengkap dengan studio jamming, area lapak, dan kedai vegan (3 vegan curry puffs for RM1!) Sayangnya venue ini sepertinya akan segera dirobohkan karena daerah itu mau dipugar dan dijadikan highway.
Di sini kami bertemu dengan SkunkFix lagi, dan kami sempet ditraktir bir sama Alak. Walaupun Malaysia adalah negara Islam, kamu bisa menjumpai kedai yang khusus menjual bir dan minuman keras lainnya di dekat Rumah Api. Keren!!! Kami bermain total sekali di Rumah api. Crowd juga keren, semua pogo, moshpit dipenuhi cewek-cewek moshing. Semuanya sold out! Tanpa kendali, gitar jatuh, lecet-lecet, semburan air mineral, semuanya senang senang malam itu, terutama kami! Tapi kami hanya membawakan sekitar 15 lagu karena sudah melebihi jam malam, dan polisi sedang menuju kesitu. Di lagu terakhir kami sempet featuring sama anak Malaysia. Dia main harmonika, dan kami mainin lagunya Ramones, Blitszkrieg Bob, itulah klimaksnya! Setelah show kami langsung berkemas, berpamitan dengan teman-teman, dan kami pulang dengan sangat bahagia.
Show itu selesai jam 1 pagi. Kami sampai rumah dan tidur jam 3 pagi, sementara kami harus bangun jam 5 pagi untuk pergi ke bandara yang jaraknya jauh. Kami naik kereta pertama ke KL Central, pukul 6 pagi. Setiba di KL Central kami langsung beli tiket bus ke bandara KL. Setelah wira-wiri di KLIA dan menunggu satu dua jam di waiting room bersama para TKI, akhirnya kami terbang juga pulang ke Jogja.
Ketika sudah mejalani semua ini kami jadi berpikir, kami ini band yang sering mengalami penolakan, kami ga punya hits, kami belum pernah masuk TV, belum pernah main di pensi anak SMA, rekaman kami cuma murahan dan bukan dirilis major label, para personel kami gak ada yang cakep atau tajir, kami cuma band yanng paling beruntung, kami punya musik dan teman-teman yang percaya sama kami, itu sudah cukup membuat kami bahagia. Even though we lost, we win!
Terima kasih,
The Frankenstone
Putro (guitars), Gisa (bas), dan Jeje (drums).
[words by Gisa | pic : band's doc, Hero Zaman] 
terbit di EAR Magazine http://earmagazine.com/even-though-we-lost-we-win/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar